Jumat, 14 Oktober 2011

Cerita Pendek


TERINSPIRASI DARI MAAFNYA
RASULULLAH SAW

Mengilhami dari maafnya Nabi Muhammad SAW, terkisah dari Tsumamah bin Itsal (seorang lelaki Arab dari Kabilah Al Yamamah) yang pergi ke Madinah dengan tujuan satu, yaitu membunuh Nabi Muhammad SAW. Saat perjalanannya ingin membunuh rasulullah, Umar bin Khatab telah melihat gelagat jahat dari Tsumamah, maka dengan segera Umar mengikat Tsumamah.
Ketika dalam ikatannya rasulullah melihat Tsumamah, dan berkata “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?seketika mendengar ucapan rasulullah, Umar menjawab “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!”. Rasulullah seolah tidak mendengar, dan berkata “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itutanpa membantah Umar langsung melaksanakan perintah Rasulullah.
Setibanya Umar mengambil susu, rasulullah meminta Tsumamah untuk meminumnya dan mengucapkan “Laa ilaha illallah”. Tsumamah menjawab tidak ingin mengucapkan kata itu, namun rasulullah mengulanginya lagi, Tsumamah tetap menjawab tidak.
Akhirnya rasulullah meminta Umar untuk membebaskan Tsumamah.
***
Begitu besar maaf rasulullah salah satunya terhadap Tsumamah, yang memang berniat jahat ingin membunuh, namun rasulullah tetap membalasnya dengan kebaikan. Begitu mulia hati rasulullah yang mengajarkan kita untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Banyak terjadi di dunia ini, apalagi di zaman sekarang ini, dendam dibalas dengan darah, karena manusia tidak pernah puas hanya dengan perang mulut.
Dalam alquran tertulis: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (Q.S. An-Nuur 24 :22), bagi kita mengatakan maaf adalah mudah. Tetapi, membebaskan diri dari rasa benci dan marah adalah susah.
***
Disaat usiaku genap 12 tahun, pernah terjadi permasalahan antara ibuku dan ayahku yang menyebabkan hubungan pernikahan mereka berakhir. Setelah perceraian itu, aku merasa terpukul dengan keadaan ini, aku terpaksa ditempatkan dengan situasi yang rumit, aku harus berjuang dengan ibuku untuk hidup.
Dalam perjalanan hidup kami, aku merasa benci dengan ayahku, aku berpikir “mengapa ayah harus egois dengan keinginannya, mengapa ayah tidak mengalah saja dengan pemikiran ibu, tapi ah, sudahlah…, toh semuanya telah terjadi, ayah dan ibuku telah berpisah”, aku harus tetap bertahan. Mulanya, aku membenci ayahku, begitu juga dengan ibu yang teramat sangat sakit ditinggal ayah, aku selalu teringat dengan caci maki ayah sebelum terucap kata-kata cerai dari mulut ayah.
Kami bertahan hidup, sehari-hari ibu membanting tulang demi menghidupi keluarga kecil kami dengan mengambil cucian baju dan menyetrikanya kepada tetangga-tetangga di sekitar rumah kami, maka dari itu aku juga berniat untuk membantu ibu. Sepulang sekolah, aku membantu ibu menjual koran, demi menambah penghasilan ibu. Hari-hari kami jalani hidup dengan bekerja.
***
Rasanya dongkol di hati sering muncul saat aku menjalani hidup, “alangkah kejamnya ayah terhadap ibu, alangkah teganya ayah memaksaku menjalani hidup sesulit ini”. Seringkali aku protes kepada ibu, aku marah-marah kepada ibu, namun ibu selalu menjawab dengan sabar dan senyuman yang manis.
Ibu selalu memaafkan kesalahan orang lain, pernah suatu saat tetangga mencaci maki ibu karena ibu mencuci kurang bersih dan setrikanya kurang rapi. Namun ibu menjawab dengan kata maaf dan menyetrikanya ulang. Ibu tidak pernah marah dan tidak membalas cacian itu, beberapa hari kemudian ibu itu (tetangga yang marah-marah terhadap ibu) menderita sakit kaki dan tidak ada sama sekali orang yang menolongnya, namun ibu, menolongnya dengan rasa penuh ikhlas. Akhirnya ibu tadi (majikan) memohon maaf dan berlaku baik terhadap ibu.
***
Satu hari kami mendengar ayah sakit keras dan tinggal di rumah sakit, ayah koma dan diperkirakan dokter hampir meninggal dunia. Ibu terkejut dan hampir pingsan, namun masih ada rasa benci dihatiku, aku masih ingat kata-kata kasar yang keluar dari mulut ayah, seolah menganggap ayah sebagai iblis yang kejam kepadaku. Aku tidak ingin menjenguk ayah walaupun ibu bersikukuh mengajakku ke rumah sakit.
Saat yang sama ibu menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW dengan Tsumamah bin Itsal, awalnya aku tak mengerti dengan cerita itu, namun ibu berkata “maaf adalah surga dunia”, aku makin tidak mengerti dengan kata-kata ibu, sampai aku mengerti bahwa aku harus memaafkan ayah dan harus menemui ayah, karena ayah merasa sedih apabila aku tidak menemui ayah.
***
Akhirnya dengan titik air mata, aku memeluk dan mencium tubuh ayahku yang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit yang tampak lusuh dan kotor. Aku berbisik di telinga ayah, aku meminta maaf kepada ayah, aku telah memaafkan semua salah ayah. Aku meminta ayah cepat sembuh agar dapat berkumpul kembali.
Setelah beberapa hari, ayah terbaring di rumah sakit dengan di rawat ibu, ayah akhirnya dapat pulih kembali, ayah sehat, berkat izin Allah SWT, ayah kembali ke rumah dan kembali kumpul dengan keluarga kecilku.
***
Sebulan kemudian, ayah dan ibu mendatangi KUA di dekat rumah untuk berniat rujuk kembali, dalam hati kecilku berpikir, begitu cepatnya ibu memaafkan segala kesalahan ayah, yang menurutku itu adalah kejahatan yang tak termaafkan, namun dengan lapang dada ibu mengajak kembali rujuk ayah.
Di waktu senggang ibu, aku bertanya dengan ibu untuk memuaskan pertanyaan dalam benakku, dengan ramah ibu menjawab “ibu hanya mengharap ridha Allah SWT” dengan memaafkan kesalahan orang lain maka surga menanti kita. Sekarang ayah dan ibu hidup bahagia kembali bersama keluarga kecilku yang baru.
***
Terinspirasi dari kisah Tsumamah itulah aku berusaha memaafkan semua kesalahan orang lain. Karena sifat memaafkan juga terbukti baik bagi kesehatan. Penelitian membuktikan bahwa memaafkan baik bagi jiwa dan raga. Dr. Frederic Luskin memaparkan bahwa sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran, dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat, dan stres. Kemarahan kita terhadap seseorang hanya akan menimbulkan emosi negatif dalam diri kita.
Benci dan marah adalah keadaan yang merusak diri. Di sisi lain, memaafkan, meskipun terasa berat, tetapi membahagiakan. Satu bagian dari akhlak yang terpuji. Memaafkan mampu menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan dan membantu orang tersebut untuk menikmati hidup secara sehat. Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan tetaplah harus untuk mendapatkan ridha Allah swt.
"Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (Q.S. As-Shura 42 : 43). Mari kita belajar untuk memaafkan orang lain agar kebaikan dari Allah swt. senantiasa dilimpahkan kepada kita.

0 komentar: