Selasa, 08 November 2011

guru berdiri murid berlari. Lho, lalu yang kencing itu siapa?

Anda pasti hafal betul proverb yang asli sebelum saya plesetkan di judul posting ini. Ya, sudah pasti ini "guru kencing berdiri murid kecing berlari". Sebuah pepatah lama yang bermakna kurang lebih, guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Apa yang dibuat oleh gurunya itulah yang ditiru dan dilakukan oleh murid-muridnya. Jadi, jika pepatah itu saya plesetkan begitu rupa maka maksudnya adalah, sekarang ini, guru dan murid tidak kompak lagi. Sudah tidak seia dan sekata. Guru begini. Murid begitu. Dahulu kala, apapun juga, guru dan murid masih bisa bertemu jika keduanya "kencing". Sekarang tidak lagi. Guru cuma berdiri. Muridnya pecicilan berlari-lari. Lalu yang kencing adalah ........entah siapa tapi kemungkian besar bukanlah si guru. Bukan pula si murid. Lalu siapa? Tepatnya, mengapa demikian?

Anda kenal orang yang bernama Thales? Si Thales pasti bukan si Takem. Bukan pula si Tukinem. Sudah pasti juga bukan si Males. Dan hampir pasti bukan Broer JIMI atau Bung Budi. Bukan. Lalu, siapa dia? Oh ternyata, Thales (abad 6 SM) adalah orang yang dikenal sebagai bapak moyangnya para filsuf. Mengapa demikian? Karena dialah yang pertama kali mengajukan pertanyaan filsafat. Sebuah pertanyaan mendasar yang ketika itu amat tidak diperhatikan orang, yaitu "what is the nature of the world stuff. Aha, terbuat dari bahan apakah alam ini? Anda mau tahu apa jawaban yang dikemukakan oleh Thales. Adalah ini, dan harap jangan ditertawakan: AIR ha ha ha ha ha......(lho kok malah saya yang tertawa?). Kita tahu bahwa, menurut pemahaman pengetahuan mutakhir, alam tidak terbuat dari air semata. Ada banyak materi penyusun alam. Ada atmosfer, biosofer, lithosfer dan hidrosfer. Unsur ini berpendar-pendar di alam. Lalu ada sekian unsur di atmosfer. Sekian pula di dalam tanah. Di dalam tubuh tumbuhan, materi itu berubah menjadi itu dan ini. Wow, jelas bukan hanya air.

Terlepas dari keakuratan jawabannya tetapi Thales sudah menjawab. Thales yang berasal dari pulau Miletos, dekat Turki sekarang ini, terbiasa dengan lingkungan serba air. Pulau Miletos terletk di tengah lautan. Thales sering mengamati hujan dan kagum. Diamatinya pula bahwa air akan menjadi uap jika dipanaskan. Dan jika didinginkan akan kembali menjadi cairan. Thales melihat pula bahwa Pulau Melitos terapung di atas air. Maka begitulah kata Thales, air adalah asal mula segalanya. Kita tahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar tetapi sesungguhnya keunggulan Thales tidak terletak pada jawabannya tetapi di pertanyaannya. Ya, Thales menjadi filsuf pertama bukan karena "dia menjawab" melainkan karena "dia bertanya". Apakah bertanya menjadi hal yang esensial dalam peradaban manusia. Jawabannya adalah iya. Dan inilah penjelasannya.

DR Chaucard dalam bukunya Le Lange et La Pensee melaporkan bahwa sepasang suami siteri Amerika Serikat yang kedua-duanya ahli psikologi memutuskan untuk mengasuh bayi mereka bersama dengan seekor kera betina yang lahir pada hari yang sama dengan bayi mereka. Mereka diperlakukan dengan pola pemeliharaan yang persis sama. Pada mulanya, pertumbuhan sang bayi dan kera hampir sama. Tetapi begitu si bayi bisa berbicara maka ia maju sedemikan cepatnya sehingga si kera segera ketinggalan dan tidak pernah mampu lagi untuk menyamainya. Ternyata, berbicara adalah titik tolak bagi keinginantahuan dan kreativitas yang luar biasa yang dialami oleh manusia. Dan apa yang pertama kali dilakukan oleh manusia ketika dia berbicara adalah: BERTANYA. Setelah bertanya, manusia akan menemukan jawaban, Setelah jawaban disintesa sebagai pengetahuan maka manusia akan kembali mempertanyakan pengetahuannya tersebut. Jadi, manusia sebenarnya berkembang dalam siklus bertanya, menjawab dan kembali mempertanyakan jawaban. Di setiap 1 siklus itu manusia memetik sesuatu sebagai bahan pelajaran. Ya, dia belajar guna bertumbuh dan berkembang.

Jika kata kuncinya adalah berbicara dan belajar maka ada 2 perkara yang harus dipahami, yaitu interioritas dan eksterioritas. Interitoritas berarti bahwa manusia memiliki suatu kesadaran dalam dirinya sendiri bahwa dia itu hidup yang oleh karenanya (principe d'etre) dia sudah berbicara, berpikir dan menjawab. Lantas, sekali manusia berbicara maka si diri sendiri itu mulai menciptakan hubungan-hubungan yang amat banyak. Semakin banyak si diri berbicara maka semakin banyak hubungan yang diciptakan (eksterioritas). Manusia ternyata memerlukan lawan berbicara yang berfungsi tidak sekedar sebagai pendengar melainkan juga sebagai pencatat dan tempat berkaca. Ya, anda benar jika anda bisa menebak bahwa manusia lain adalah unsur eksterioritas diri pribadi sebagai tempat memantulkan sisi interioritas diri pribadi. Reflektor itu, kadang-kadang harus "lebih besar" dari diri pribadi agar supaya bayangan refleksinya dapat menjadi pedoman dan penuntun tindakan belajar selanjutnya. Reflektor itulah yang akan menjadi tempat diri pribadi manusia mengkonfirmasi keakuratan jawaban yang diperolehnya. Reflektor besar itulah yang selanjutnya kita sebut saja sebagai GURU. Kata ini berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu guru. Dalam arti luas, guru adalah semua orang yang mengajarkan sesuatu yang baru, pembagi ilmu dan pemandu para murid menuju penemuan akan kebenaran-kebenaran hidup. Dalam bahasa jawa GURU dipahami sebagai yang digugu dan ditiru.

Hubungan timbal balik antara manusia dan reflektor ini harus berifat selaras dan sebisa mungkin mereduksi peluang bias. Ketika di antara manusia dan reflektornya itu terjadi bias yang amat besar maka bukan jawaban atau ilmu atau kebenaran yang diperoleh melainkan kekacauan. Dapatkah anda bayangkan bahwa ketika anda yang cantik dan bergaun merah muda lalu di dalam kaca cermin terlihat anda berpakaian hitam dengan rambut awut-awutan ada kemungkinan anda akan pingsan karena menduga ...
hiiiiiiiiiiiii.....ada nenek lampir di dalam cermin....... hi hi hi hi......

Kata Louis Leahy, semua manusia pada dasarnya adalah diri sendiri dan sekaligus guru bagi sesamanya. Jika benar begitu maka hubungan antara guru dan murid, tidak lan dan tidak bukan adalah hubungan antara manusia yang seharusnya bersifat serasi, selaras dan penuh rasa hormat. Lalu, inilah situasi mutakhir hubungan guru dan murid di Indonesia dewasa ini. Mari kita catat tiga kutipan berikut ini:

(Winarno Surahmat, mantan Rektor IKIP Jakarta dalam apel HUT Ke-60 PGRI di Solo, Jawa Tengah)
Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam. Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kedaluwarsa. Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk
Bolehkah kami bertanya, apakah artinya bertugas mulia, ketika kami hanya terpinggirkan, tanpa ditanya, tanpa disapa.
Di sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah, terbaca torehan darah kering.
Di sini berbaring seorang guru, semampu membaca buku usang, sambil belajar menahan lapar, hidup sebulan dengan gaji sehari.
Itulah nisan seorang guru tua yang terlupakan oleh sejarah.


Lantas puisi ini secara kontan, di acara yang sama dibalas oleh Wapres Jusuf Kalla seperti berkut ini:

''Saya yakin sekolah kita tidak seperti kandang ayam.
Saya yakin banyak sekolah yang jauh lebih baik daripada itu. Gaji Anda memang belum cukup, tapi saya yakin bahwa gaji Anda tidak hanya cukup untuk hidup satu hari. Janganlah kita semua mengejek-ejek bangsa ini,'' . Lebih-lebih guru merupakan pembentuk jiwa dalam bangsa. ''Kalau semua selalu mengejek, lalu siapa yang harus menghargai bangsa ini.''
Guh (http://guhpraset.wordpress.com/)
Tapi Guru bukan hanya digugu dan ditiru. Guru cabul, guru korup, guru kampret, nasibnya sama akan sama seperti murid yang kabur loncat pagar atau merokok dalam toilet, mereka akan digugat dan diburu. Teringat juga tentang seorang Ibu Guru SD yang mengancam akan menjewer kuping saya (yang cuma dua) sampai putus, jika tidak hapal perkalian 1 sampai 10. Dan saya yang terlalu dungu percaya kalau beliau akan memegang kata-katanya, saya begadang sampai jam 3 pagi, berusaha menghapal sesuatu yang sampai sekarang pun saya tak juga hapal. Sekarang kuping saya masih utuh.

Ingatan saat SMP juga ikut muncul, saya sebagai anak manis, baik dan keren, yang selalu lolos dari hukuman berjajar jongkok didepan kelas untuk ditendangi satu persatu oleh seorang wali kelas yang guru kesenian, tiba-tiba memecahkan rekor, mendapat tamparan terbanyak dalam satu hari. Hanya karena menulis kata-kata yang menurut para guru terlalu kotor untuk ditulis dikertas ujian. Guru yang emosional.
Kenangan religius juga ada. Bagaimana Ibu Guru ngaji saya yang sedikitpun tidak seksi, selain mengajari saya untuk rajin meludah saat berpuasa dan menanamkan segala terror neraka, juga mengajari saya, memprogram dan mencuci otak saya untuk membenci ajaran dan penganut agama-agama lain.

Dan, yang paling bermanfaat, guru Bahasa Indonesia yang suka berbicara dengan melecehkan. Saya berterimakasih, karena dari beliaulah saya belajar sarkasme


Sawali Tuhusetya (guru –
http://www.sawali.info)
Yang tidak kalah penting, apresiasi masyarakat terhadap profesi guru harus proporsional dan manusiawi. Guru bukanlah “dewa” atau “nabi” yang luput dari cacat dan cela. Kalau ada guru yang terlibat dalam kasus amoral, misalnya, hal itu memang kurang bisa ditolerir. Namun, juga terlalu naif jika buru-buru menghujatnya tanpa menyikapinya secara arif.


Nah lo, saling sengketa carut sengkarut bukan? Maka, banyak perkara boleh diwacanakan tentang kesejahteraan dan kompetensi guru, pahlawan tanpa tanda jasa, biaya sekolah mahal, biaya pendidikan gratis, murid yang nakal, gemar tawuran dan narkoba serta seabrek hal-hal lainnya. Silakan dan sah-sah saja. Tetapi saya justru ingin merenungkan sesuatu yang seharusnya ada sejak awal, yaitu bagaimana tata hubungan antara guru, murid dan pengelola pendidikan dewasa ini yang seharusnya menggambarkan pola relasi antara manusia.
Adakah manusia di depan anda itu adalah musuh yang harus dibenci? Apakah dia hanya sekedar barang yang mengisi ruang yang sama lalu anda gunakan hanya jika perlu? Ataukah dia adalah sesamamu yang harus di rangkum dengan penuh kasih sayang sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri? Guru adalah reflektor bagi murid-muridnya. Murid-murid adalah cerminan gurunya itu sendiri. Haruskah sang Guru berdiri diam di tempat ketika melihat murid-muridnya berlari-lari gelisah tak bisa kencing. Haruskah sang murid berloncatan tidak keruan ketika sang Guru terduduk diam karena tidak cukup makan seharian? Lalu, siapa yang disuruh kencing. Siapa yang akan makan? Siapa mengencingi siapa? Siapa makan siapa?

0 komentar: